Riwayat Raja Bone
(1) : Manurunge’ ri Matajang
Tulisan ini merupakan tulisan bersambung tentang Riwayat Raja – raja
Bone. Bone merupakan salah satu kabupaten dalam lingkup wilayah Propinsi
Sulawesi Selatan. Ibukota Kabupaten ini, Watampone memiliki luas
wilayah 4.559 km² dan secara administratif terdiri dari 27 kecamatan,
333 desa dan 39 kelurahan. Kabupaten ini terletak 174 km ke arah timur
Kotamadya Makassar, berada pada posisi 4°13′- 5°6′ LS dan antara
119°42′-120°30′ BT, pada sebelah utaranya berbatasan dengan Kabupaten
Wajo dan Soppeng, sebelah timur dengan Teluk Bone, sebelah barat
berbatasan dengan Maros, Pangkep dan Barru dan sebelah selatannya dengan
Kabupaten Gowa dan Sinjai.
Di bekas wilayah kabupaten inilah pernah
berdiri sebuah kerajaan besar yang merdeka dan berdaulat, yaitu
Kerajaan Bone. Rajanya digelari Arung Mangkaue ri Bone, yang artinya
Raja yang berkedudukan di Bone. Kerajaan Bone berdiri sekitar Abad XIV
dengan raja pertamanya, Manurunge’ ri Matajang. Rajanya yang terkenal
diantara Arung Palakka Petta Malampeq Gemmekna, yang oleh Belanda
digelari “Radja Palacca, Koningh der Bougis”. Sebagian besar penduduknya
berpenutur Bahasa Bugis, biasa juga disebut To Ugi Bone (orang Bugis
Bone). Salah seorang putera terbaik Bone pernah menjabat sebagai Wakil
Presiden RI, beliau tak lain adalah HM Jusuf Kalla.
* * *
Hampir
semua kerajaan di Sulawesi Selatan mempunyai dongeng, mitos atau
Patturioloang (cerita tentang Orang – orang dahulu kala) yang menyatakan
bahwa raja pertama kerajaan dalam wilayah Sulawesi Selatan itu adalah
Tumanurung (bahasa Makassar) atau TomanurungE (‘tu’ atau ‘to’ berasal
dari kata ‘tau’ berarti orang sedang ‘manurung’ berarti yang turun dari
langit atau kayangan). Bahkan, tidak hanya berhenti disitu, istrinya
yang kemudian menjadi ratu, ibunda dari pangeran yang akan melanjutkan
dinasti kerajaan juga biasa disebut TumanurungE (Makassar : Tumanurung
bainea, Bugis : Tomanurung makkunrai). (Makkulau, 2005).
Kronik Bone
memulai cerita masa awal kerajaannya tepat diakhir cerita I La Galigo
dimana dijelaskan masa sebelum datangnya Tomanurung sebagai masa
kekacauan yang berlangsung selama tujuh pariyama (generasi). Menurut
hitungan lama, satu pariyama sama dengan masa 100 tahun. Jadi kalau
mengacu pada perhitungan ini maka keturunan Puatta MenreE ri Galigo
telah hilang 700 tahun sebelum kemunculan Tomanurung. Bone dan negeri -
negeri sekitarnya mengalami kekacauan yang luar biasa. Dalam Lontara’
Akkarungeng ri Bone, diketahui bahwa setelah berakhir keturunan Puatta
Menre’E ri Galigo, keadaan negeri - negeri diwarnai dengan kekacauan
karena tidak adanya Arung (raja) yang mengatur tatanan kehidupan
bermasyarakat. Terjadilah perang antar kelompok anang (perkauman) yang
berkepanjangan. Dalam istilah lokal, hal ini disebut saling memakan
bagaikan ikan (bugis : sianre bale). Kelompok - kelompok kaum saling
bermusuhan dan berebut kekuasaan dimana yang kuat menguasai kelompok
yang lemah dan memperlakukan sesuai kehendaknya. (Makkulau, 2007).
Nanti setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban
dapat ditegakkan dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan.
Ditetapkannya penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan pembentukan
Dewan Penasehat, Aruppitu (Tujuh Penguasa), yang terdiri dari pemimpin
dari tujuh komunitas. Kemunculan Arumpone (Raja Bone), “ManurungE ri
Matajang Mata SilompoE”, ditandai dengan gejala alam yang menakutkan dan
mengerikan. Terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat, kilat dan guntur
sambar menyambar, hujan dan angin puting beliung yang sangat keras.
Setelah keadaan itu reda, tiba - tiba di tengah padang luas muncul orang
berdiri dengan pakaian serba putih. Karena tidak diketahui asal usul
kedatangannya, maka orang menyebutnya ’Tomanurung’.
Adapun
kesepakatan orang yang menganggapnya sebagai Tomanurung adalah untuk
mengangkatnya menjadi Arung (raja) agar ada yang bisa memimpin mereka.
Orang banyak berkata, ”Kami semua datang ke sini untuk meminta agar
engkau jangan lagi mallajang (menghilang). Tinggallah menetap di tanahmu
agar engkau kami angkat menjadi arung (raja). Kehendakmu adalah
kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak isteri kami
engkau cela, kami pun mencelanya, asalkan engkau mau tinggal”.
Orang
yang disangka To Manurung menjawab, ”Bagus sekali maksudmu itu, namun
perlu saya jelaskan bahwa saya tidak bisa engkau angkat menjadi arung
sebab sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau. Tetapi kalau
engkau benar-benar mau mengangkat arung, saya bisa tunjukkan orangnya.
Dialah arung yang saya ikuti”.
Orang banyak berkata, ”Bagaimana caranya kami mengangkat seorang arung yang kami belum melihatnya?”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab, ”Kalau benar engkau mau
mengangkat seorang arung , saya akan tunjukkan tempat – matajang
(terang), disanalah arung itu berada”.
Orang banyak berkata, ”Kami
benar-benar mau mengangkat seorang arung, kami semua berharap agar
engkau dapat menunjukkan jalan menuju ke tempatnya”.
Orang yang
disangka To Manurung (konon bernama Pua’ Cilaong dari Bukaka), mengantar
orang banyak tersebut menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan
Matajang (berada dalam kota Watampone sekarang).
Di tempat yang
dituju, nampaklah Tomanurung yang sesungguhnya duduk di atas batu besar
dengan pakaian serba kuning dengan ditemani tiga orang yaitu : satu
orang yang memayungi payung kuning, satu orang yang menjaganya dan satu
orang lagi yang membawa salenrang.
Tomanurung berkata, ”Engkau datang Matowa ?”
MatowaE menjawab, ”Iye, Puang”.
Barulah orang banyak mengetahui bahwa yang disangkanya Tomanurung itu
adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar orang banyak mendekati
Tomanurung yang berpakaian serba kuning.
Berkatalah orang banyak
kepada Tomanurung : ”Kami semua datang ke sini untuk memohon agar engkau
menetap. Janganlah lagi engkau mallajang (menghilang). Duduklah dengan
tenang agar kami mengangkatmu menjadi Arung. Kehendakmu kami ikuti,
perintahmu kami laksanakan. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami
pun mencelanya. Asalkan engkau berkenan memimpin kami”.
Tomanurung menjawab : ”Apakah engkau tidak membagi hati dan tidak berbohong?”
Setelah terjadi kontrak sosial antara Tomanurung dengan orang banyak,
dipindahkanlah To Manurung ke Bone untuk dibuatkan salassa (rumah).
Tomanurung tersebut tidak diketahui namanya sehingga orang banyak
menyebutnya ManurungE ri Matajang. Kalau datang di suatu tempat dan
melihat banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya,
sehingga digelar Mata SilompoE. Arumpone pertama ini kemudian kawin
dengan ManurungE ri Toro yang bernama We Tenri Wale. Dari perkawinan itu
lahirlah La Ummasa dan We Pattanra Wanua, beberapa riwayat menyebutnya
ada lima bersaudara. Yang pertama kali dilakukan Manurunge ri Matajang
adalah mappolo leteng (menetapkan hak - hak kepemilikan orang banyak),
meredakan segala bentuk kekerasan dan melahirkan hukum adat (bicara)
serta menentukan bendera kerajaan yang dinamai WoromporongE.
Setelah
genap empat pariyama memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang
Bone dan menyampaikan, ”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La
Ummase’ untuk menggantikan kedudukanku. Dia pulalah nanti yang
melanjutkan perjanjian antara kita”. Beberapa saat setelah mengucapkan
kalimat perpisahan itu, dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan
munculnya kilat dan guntur saling menyambar diakhiri dengan
menghilangnya (mallajang) ManurungE ri Matajang dan isterinya, ManurungE
ri Toro dari tempat duduknya. Salenrang dan payung kuning turut pula
menghilang membuat seluruh orang Bone heran dan takjub. (***)
Riwayat Raja Bone (2) : LA UMMASE
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan
bahwa Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung
Mangkaue ri Bone. Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone
(Bugis : Raja Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas
dari besi di Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao
(tameng) untuk melindunginya dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan
karena tidak ada lagi payung (maksudnya : payung kerajaan) di Bone.
(Makkulau, 2009)
La Ummase’ Petta Panre Bessie’ sangat dicintai
rakyatnya karena selain merakyat, juga memiliki berbagai kelebihan
seperti berdaya ingat tajam, penuh perhatian, jujur, adil dan bijaksana.
Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan
wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu
(Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil menaklukkan
kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang, Anrobiring, Cellu,
Palakka dan Taneteriattang”. (Kasim, 2002)
Dengan diplomasi politik
yang didukung kekuatan militer, La Ummase berupaya menduduki Palakka
namun tidak berhasil. “Baginda ini pulalah, La Ummase, Raja Bone II
(1362 – 1398) yang berselisih dengan iparnya dari saudara perempuannya
We Patanra Wanua, raja tetangga kerajaannya yang paling dekat, yaitu La
Pattikkeng Aru Palakka. Kurang lebih tiga bulan lamanya bertempur,
tetapi tidak ada yang berhasil tampil sebagai pemenang”. (Kasim, 2002).
Akhirnya berdamai kembali dan keduanya menyadari bahwa permusuhan tidak
akan membawa keuntungan. Palakka dengan sendirinya nantinya
menggabungkan diri dengan Bone.
Sasaran upaya perluasan wilayah
kekuasaan Kerajaan Bone pada tahap awal itu ditujukan ke arah pantai
Teluk Bone (Cellu, Maloi, dan Anrobiring yang terletak di pantai barat
Teluk Bone). Cellu pada masa itu menguasai Bandar yang sekarang menjadi
Pelabuhan BajoE. Penguasaan atas daerah pantai ini, sangat strategis
artinya, dilihat dari segi politik dan sosial ekonomi. Karena suatu
Negara tanpa Bandar niaga laut akan terisolasi dari dunia luar. (Kasim,
2002).
La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa
menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki
anak perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal
dari to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah
dia tahu bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh
anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh
Arung Palakka La Pattikkeng. Kepada anaknya To Suwalle dan To Sulewakka,
La Ummasa berpesan, ”Kalau Puangmu telah melahirkan, maka ambil anak
itu dan bawa secepatnya kemari. Nanti di sini baru dipotong ari - arinya
dan ditanam tembuninya”.
Tidak berapa lama lahirlah anak laki -
laki sehat dan memiliki rambut yang tegak ke atas (Bugis : karang)
sehingga dinamakanlah Karampelua. Ketika anaknya dibawa ke Bone, Arung
Palakka La Pattikkeng tidak ada di tempat dan tindakan La Ummase’ itu
menyakitkan hatinya. Sesampainya di istana Arumpone, bayi tersebut
barulah dipotong Ari - arinya dan dicuci darahnya. Bayi itu kemudian
dipelihara oleh saudara perempuan Arumpone yang bernama We Samateppa.
Arumpone La Ummase mengundang seluruh rakyatnya untuk datang berkumpul
dan membawa senjata perang. Keesokan harinya berkumpullah seluruh rakyat
lengkap dengan senjata perangnya. Dikibarkanlah bendera Woromporonge’
dan turunlah Arumpone di Baruga menyampaikan, ”Saya undang kalian untuk
mendengarkan bahwa saya telah mempunyai anak laki-laki yang bernama La
Saliyu Karampelua. Mulai hari ini saya menyerahkan kedudukan saya
sebagai Arumpone. Dan kepadanya pula saya serahkan untuk melanjutkan
perjanjian yang pernah disepakati antara Puatta ManurungE ri Matajang
dengan orang Bone”. Seluruh orang Bone mengiyakan kemudian angngaru’
(menyatakan ikrar setia).
Dilantiklah La Saliyu Karampelua kecil
oleh pamannya La Ummase’ menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu
berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu dinaikkanlah La
Saliyu Karampelua ke LangkanaE sejak dilantiknya menjadi Arumpone. Gelar
Matinroe (nama setelah meninggal) La Ummase’ sepeninggalnya Petta To
Mulaiye Panreng yang artinya raja yang mula-mula dikuburkan. (Makkulau,
2009) (***)
B e r s a m b u n g . . . . .
Riwayat Raja Bone (3): La Saliyu Karempalua
MASIH bayi sudah menjadi raja negeri besar. Inilah yang terjadi pada
diri Karempalua karena sudah menjadi ketetapan pamannya, Raja Bone II La
Ummase’. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu
Karempalua (1424 – 1496) adalah Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan
pamannya, La Ummase’. Kedudukannya ini diterima dari pamannya sejak
berusia satu malam (masih bayi). Kalau ada sesuatu yang akan diputuskan
maka To Suwalle yang memangkunya menjadi juru bicaranya. Kemudian yang
bertindak selaku Makkedangen Tana (Perdana Menteri) adalah To Sulewakka.
Ketika memasuki usia dewasa, barulah La Saliyu Karampelua mengunjungi
orang tuanya di Palakka. Sesampainya di Palakka, kedua orang tuanya
sangat gembira dan diberikanlah pusakanya yang menjadi miliknya, juga
Pasar Palakka. Sejak itu orang Palakka tidak lagi berpasar di Palakka
tapi pindah ke Bone. La Saliyu Karampelua dikenal sangat mencintai dan
menghormati kedua orang tuanya. Ata’ alena (hamba sendirinya)
dikeluarkan dari Saoraja (istana) dan ditempatkan di Panyula. Sementara
hamba yang didapatkan setelah menjadi Arumpone di tempatkan di Limpenno.
Orang Panyula dan orang Limpennolah yang mempersembahkan ikan. Dia pula
yang menjadi pendayung perahunya dan pengusungnya jika Arumpone ini
bepergian jauh.
La Saliyu Karampelua sangat dicintai oleh rakyatnya
karena memiliki sifat - sifat rajin, jujur, cerdas, adil dan bijaksana.
Ia juga dikenal pemberani dan tidak pernah gentar menghadapi musuh.
Konon sejak masih bayi tidak pernah terkejut bila mendengarkan suara -
suara besar dan aneh. Arumpone ini dikawinkan orang tuanya dengan
sepupunya yang bernama We Tenri Roppo, ana’ pattola (putri mahkota)
Arung Paccing. Dari perkawinan itu lahirlah We Banrigau Daeng Marowa dan
We Pattana Daeng Mabela MakkaleppiE Arung Majang. Oleh Arumpone Petta
Karempalua, sebagian orang Bukaka dibawa ke Majang untuk menjadi rakyat
MakkaleppiE yang kemudian mendirikan Sao LampeE ri Bone, yang diberinya
nama Lawelareng. Sehingga digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE
Lawelareng atau Puatta Lawelareng.
Raja Bone III ini melanjutkan
kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar
dan berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti :
Pallengoreng, Sinri, Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta
Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale,
Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung, Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan
Aserabate Riawang Ale.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada
masa itu telah menguasai wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada
masa itu), sehingga organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan.
Untuk itu La Saliu membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi
tiga wilayah administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera
Kerajaan Bone. Pertama, Negeri – negeri yang memakai bendera
Woromporongnge’ : Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang,
Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua,
Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kanan
Woromporongnge’ : Paccing, Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa,
Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung dan Ketiga, Negeri – negeri yang
memakai umbul merah di sebelah kiri Woromporongnge’ : Arasong, Ujung,
Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi
Kajao Arasong”. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone ; Kasim, 2002)
Pembagian tersebut menunjukkan struktur organisasi pemerintahan Kerajaan
Bone dibawah La Saliyu Petta Karempalua. Dengan membagi Bone atas tiga
wilayah, berarti telah meletakkan pola desentralisasi pemerintahan
sesuai dengan tuntutan pragmatis luasnya wilayah kekuasaan Kerajaan Bone
pada masa itu. Menurut Prof Mr. Muhammad Yamin, “Raja Bone Petta
Karempalua adalah Raja Bone pertama yang menetapkan pemakaian bendera
merah putih sebagai bendera Kerajaan Bone” . Muhammad Yamin menulis
bahwa pada tahun 1398 – 1470, Raja Bone bernama Kerampalua mengibarkan
bendera merah putih, yaitu Bendera Woromporong berwarna merah dan umbul –
umbul pinggirnya di kiri – kanan berwarna putih, cellae riaya tau
cellae ri abeo”. Fakta ini menurutnya menunjukkan bahwa Kerajaan Bone
telah meletakkan pola dasar yang kuat untuk menjadikan ”Bendera Merah
Putih” sebagai bendera negara. (Kasim, 2002 dalam Makkulau, 2009).
Kerajaan – kerajaan yang telah menyatakan diri menjadi bagian wilayah
kerajaan Bone, dan tidak termasuk ke dalam salah satu wilayah
koordinatif tersebut, mereka dijadikan wanua palili dengan status
otonom. Kerajaan – kerajaan otonom yang berstatus wanua palili Bone
antara lain : Kaju, Pattiro, Lima Wanua Rilau Ale. Kerajaan Palakka
diperintah langsung oleh Raja Bone III ini karena Palakka adalah
kerajaan pusaka dari ayahnya, La Pattinkeng. (Kasim, 2002).
Seiring
perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan hukum warisan
diumumkan secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin stabilitas
hubungan di dalam komunitas (Matthes 1864, vol.1 : 466 – 68 dalam
Andaya, 2006). Penguasa - penguasa berikutnya disebut telah meletakkan
dasar bagi kemakmuran ekonomi. Penguasa ketiga Bone, La Saliyu Petta
Karampelua, disanjung karena usahanya dalam meningkatkan jumlah tanah
garapan dan pengetahuannya untuk urusan – urusan kerajaan (Matthes,
1864, vol. 1 : 471-2 ; Bakkers 1866 : 176-7 dalam Andaya, 2004).
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, disebutkan bahwa La Saliyu
Karampeluwa tiga bersaudara. Saudara perempuannya yang bernama We Tenri
Pappa kawin dengan La Tenri Lampa Arung Kaju melahirkan La Tenri Bali
(suami We Banrigau), sedangkan saudara perempuannya yang bernama We
Tenri Roro kawin dengan La Paonro Arung Pattiro, lahirlah La Settia
Arung Pattiro yang selanjutnya kawin dengan We Tenri Bali.
Anak La
Saliyu Karampeluwa dari isterinya yang bernama We Tenri Arung Amali
yaitu La Mappasessu kawin dengan We Tenri Lekke’. Anak La Saliyu
Karampeluwa dengan isterinya We Tenri Roppo Arung Paccing, adalah We
Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE kawin dengan sepupunya yang bernama La
Tenri Bali Arung Kaju. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Sukki, La
Panaungi To Pawawoi Arung Palenna, La Pateddungi To Pasampoi, La Tenri
Gora Arung Cina juga Arung di Majang, La Tenri Gera’ To Tenri Saga, La
Tadampare (meninggal dimasa kecil), We Tenri Sumange’ Da Tenri Wewang,
We Tenri Talunru Da Tenri Palesse. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone).
Setelah genap 72 tahun menjadi Arung Mangkaue’ ri Bone, dikumpulkanlah
seluruh orang Bone dan menyampaikan bahwa, ”Saya mengumpulkan kalian
untuk memberitahukan bahwa mengingat usia sudah tua dan kekuatan saya
sudah semakin melemah, maka saya bermaksud menyerahkan kekuasaan sebagai
Arung Mangkau’ di Bone kepada pengganti saya, We Banrigau Daeng Marowa
MakkaleppiE”. Mendengar itu, semua orang Bone menyatakan setuju. Maka
dikibarkanlah bendera WoromporongE. Setelah itu berkata lagi Arumpone,
”Di samping itu, saya menyerahkan kekuasaan dan perjanjian yang telah
disepakati oleh orang Bone dengan Puatta Mulaiye Panreng untuk
dilanjutkan oleh anak saya”. Setelah orang Bone kembali, hanya satu
malam saja setelah menyampaikan pewaris takhtanya, Arumpone Petta
Karempalua meninggal dunia. (***)
Sumber :
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=217215005043047&id=174778575953357